Pernikahan Nabi ﷺ dengan Sayyidah Khadījah radhiyallāhu ‘anhā.
Nama lengkap Khadījah radhiyallāhu ‘anhā adalah Khadījah bintu Khuwailid bin As’ad bin Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilāb. Sedangkan nasab Nabi ﷺ adalah Muhammad bin ‘Abdillāh bin ‘Abdil Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilāb. Keduanya bertemu pada Qushay.
Abdi Manaf, kakek Nabi ﷺ bersaudara dengan ‘Abdul ‘Uzza dan ‘Abdu Syamsy. Sehingga Khadījah sendiri masih tergolong sebagai seorang wanita Quraisy yang juga memiliki nasab yang tinggi.
Khadījah merupakan keturunan yang spesial dan terkenal di kalangan orang Arab pada saat itu. Disebutkan di dalam sejarah, diantara laqab (gelar) ibunda Khadijah adalah thāhirah (wanita yang suci) karena beliau tidak mengikuti adat-adat Jahiliyyah dan tidak pernah terjerumus ke dalam perzinahan serta hal-hal buruk lainnya. Karena itu beliau dikenal sebagai wanita yang ‘afīfah (menjaga kehormatan). Selain itu, Ibunda Khadijah juga terkenal akan kecantikan dan kekayaannya. Beliau banyak memperkerjakan kaum lelaki dengan sistem mudhārabah untuk memperdagangkan hartanya. Padahal Khadījah adalah seorang wanita janda.
Disebutkan bahwa sebelum beliau menikah dengan Nabi ﷺ, Khadījah sudah menikah dua kali yaitu dengan ‘Atiiq bin ‘Aaidz Makhzumiy dan Abu Haalah ibnu An-Nabasy At-Tamimiy, sehingga Nabi ﷺ adalah suami Khadijah yang ke-3. Kedua suami tersebut meninggal dunia, dan Khodijah memiliki seorang anak dari Abu Haalah yang bernama Hind[1] bin Abi Haalah At-Tamimi.
Meskipun beliau adalah wanita janda, namun karena kesucian, akhlaknya yang mulia, kekayaan hartanya, dan kecerdasannya, banyak lelaki yang datang melamarnya. Tetapi Khadījah radhiyallāhu ‘anhā menolak semua lamaran itu. Seakan-akan beliau sudah tidak tertarik lagi untuk menikah, atau karena beliau tidak terburu-buru untuk menikah. Sampai akhirnya Khadījah mendengar tentang seorang pemuda yang bernama Muhammad ﷺ yang terkenal dengan amanahnya, akhlaknya. Hal inilah yang membuat Khadījah tertarik agar Muhammad bekerja sebagai pekerjanya.
Mulailah Muhammad ﷺ memperdagangkan barang Khadījah radhiyallāhu ‘anhā. Ketika Rasūlullāh ﷺ berangkat berdagang, beliau ﷺ ditemani oleh budaknya Khadījah radhiyallāhu ‘anhā yang bernama Maysarah. Khadījah radhiyallāhu ‘anhā sebenarnya sudah tertarik dengan Muhammad ﷺ namun tidak terburu-buru meminta dilamarkan kepada Muhammad. Beliau ingin menguji Rasūlullāh ﷺ terlebih dahulu dengan menjadikan Rasūlullāh ﷺ sebagai pekerjanya dan memerintahkan Maysarah untuk menemani dan meneliti Nabi ﷺ. Ini salah satu bukti kecerdasan Khadījah radhiyallāhu ‘anhā, dimana beliau memiliki sifat Al-anat (tenang) dan tidak terburu-buru.
Ujian ini dilakukan bukan saat Nabi ﷺ berdagang di Mekkah melainkan saat safar, sebagaimana perkataan para ulama bahwa safar itu akan membuka tabir akhlak seseorang yang sebenarnya.
Sulaiman bin Harb berkata :
شَهِدَ رَجُلٌ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضى الله عنه فَقَالَ لَهُ عمرُ: إِنِّى لَسْتُ أَعْرِفُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ أَنِّى لاَ أَعْرِفُكَ، فَائْتِنِى بِمَنْ يَعْرِفُكَ , فَقَالَ رَجُلٌ: أَنَا أَعْرِفُهُ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ, قَالَ: بِأَيِّ شَيْءٍ تَعْرِفُهُ؟ فَقَالَ: بِالْعَدَالَةِ. قَالَ: هُوَ جَارُك الأَدْنَى تَعْرِفُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهَ وَمَدْخَلَهُ وَمَخْرَجَهُ؟ قال: لاَ. قَالَ: فَعَامَلَكَ بِالدِّرْهَمِ وَالدِّيْنَارِ الَّذِى يُسْتَدَلُّ بِهِمَا عَلَى الْوَرَعِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَصَاحِبُكَ فِى السَّفَرِ الَّذِى يُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى مَكَارِمِ الأَخْلاَقِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَلَسْتَ تَعْرِفُهُ
Seorang lelaki ingin memberikan persaksian di hadapan ‘Umar bin Al-Khaththab. ‘Umar berkata kepadanya, “Aku tidak mengenalmu, dan tidak akan memudharatkanmu meskipun aku tidak mengenalmu. Datangkanlah orang yang mengenalmu.” Maka ada seseorang -dari para hadirin- yang berkata, “Aku mengenalnya wahai amirul mukminin”. ‘Umar berkata, “Dengan apa engkau mengenalnya?” Orang itu berkata, “Dengan keshalehan dan keutamaannya.” ‘Umar berkata, “Apakah ia adalah tetangga dekatmu yang engkau mengetahui kondisinya di malam hari dan di siang hari serta datang perginya?” Orang itu berkata, “Tidak”. ‘Umar kembali berkata, “Apakah ia pernah bermu’amalah denganmu berkaitan dengan dirham dan dinar, yang keduanya merupakan indikasi sikap wara’ seseorang?” Orang itu berkata, “Tidak”. ‘Umar berkata lagi, Apakah ia pernah menemanimu dalam safar, yang safar merupakan indikasi mulianya akhlak seseorang?
Orang itu berkata, “Tidak.” Umar menimpali, “Jika demikian engkau tidak mengenalnya.” (Atsar ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaa’ Al-Ghalil, 8/260 No. 2637)
Sungguh benar perkataan ‘Umar, safar memang merupakan pengungkap dan pembongkar akhlak seseorang yang sebenarnya. Betapa banyak orang yang tampaknya mulia dan berakhlak baik namun saat kita bersafar bersamanya dalam waktu yang lama dan jarak perjalanan yang jauh, dan berhadapan dengan kesulitan yang membutuhkan pengorbanan maka akan tampak akhlaknya yang asli, yaitu akhlak yang buruk. Demikianlah, jika seseorang ingin mengetahui bagaimana hakikat orang lain maka ajaklah bersafar atau bertransaksi uang dengannya sehingga dapat diketahui orang tersebut orang yang amanah atau gemar berdusta.
Untuk itulah, Khadījah menguji Nabi ﷺ dalam 2 perkara yang penting, yaitu safar dan masalah keuangan. Inilah mungkin alasan mengapa safar disebut yusfir (membuka tabir seseorang). Karena saat safar akan nampaklah akhlak seseorang, apalagi jika safar tersebut dilakukan bersama orang-orang lain secara berkelompok.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika salah seorang dari kalian melakukan safar maka ia akan sulit makan, minum, dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927).
Setelah Maysarah kembali selepas safar bersama Rasūlullāh ﷺ dan melihat cara berdagang Nabi, Maysarah segera mengabarkan kepada Khadījah tentang hakikat Rasūlullāh ﷺ. Setelah mendengar pengakuan Masyarah, maka semakin bertambahlah ketertarikan Khadījah kepada Rasūlullāh ﷺ.
Akhirnya Khadījah radhiyallāhu ‘anhā pun bermaksud meminang Rasūlullāh ﷺ. Disebutkan oleh beberapa ahli tarikh, Khadījah melakukan pinangan melalui sebagian orang yang dikenalnya dengan cara memberi isyarat kepada Rasūlullāh ﷺ agar menikahi Khadījah, yaitu tidak langsung karena seorang wanita tetap menjaga dirinya. Cara ini juga bisa menjadi dalil bahwa seseorang yang memiliki anak atau adik perempuan, tidak mengapa baginya menawarkan anak atau adik perempuannya tersebut kepada seorang lelaki yang shālih, tentunya dengan cara yang baik dan tidak merendahkan. Demikian juga seorang wanita jika tertarik dengan seorang lelaki yang shalih maka tidak mengapa ia memberi isyarat keapda lelaki sholih tersebut melalu perantara akan hasratnya tersebut, tentu dengan tetap menjaga kehormatannya. Karena mencari suami yang shālih tidak mudah sebagaimana tidak mudah pula mencari wanita yang shālihah, terlebih di zaman sekarang ini. Kalau dikenal ada seorang yang berakhlak mulia, ibadah yang baik, sudah terkumpul 2 perkara ini (ibadah dan akhlak yang baik) maka hendaklah tidak dilepaskan. Sampai-sampai Rasūlullāh ﷺ mengancam orang yang menolak lelaki yang memliki sifat seperti ini:
عَنْ أَبِى حَاتِمٍ الْمُزَنِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ « إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Abu Hatim Al Mizany radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika telah datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak perempuan kalian), jika tidak maka niscaya akan terjadi musibah dan kerusakan di bumi”, mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, meskipun ia mempunyai sesuatu (aib), beliau bersabda: “Jika telah datang kepada kalian lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak perempuan kalian)”, beliau mengatakan itu tiga kali. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di ddalam shahih At Tirmidzi, no. 1084)
Rasūlullāh ﷺ membedakan antara akhlak dengan agama. Ada orang yang tampak agamanya bagus (misal rajin shalat, puasa sunnah) namun akhlaknya belum tentu bagus (misal punya hutang tidak dibayar padahal mampu untuk membayar, tidak amanah, mulutnya kotor/kasar, tidak menghargai orang lain, dan yang semisal). Jika telah terkumpul pada seorang lelaki agama dan akhlak yang bagus, maka jangan kita tolak selama anak atau adik perempuan kita menyukainya, namun juga hendaknya tidak dipaksa. Dengan harapan suami yang shālih ini akan menghasilkan keturunan yang shālihīn.
Para salaf dahulu tidak ragu untuk menawarkan anak atau adik perempuan mereka kepada orang-orang yang Shalih. Contohnya seperti ‘Umar bin Khaththab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Bukankah beliau telah menawarkan putrinya yaitu Hafshah kepada Abū Bakr dan ‘Utsmān? ‘Umar mengetahui siapa Abū Bakr dan siapa ‘Utsmān, mereka adalah orang-orang yang dikenal shālih. ‘Umar menawarkan tanpa malu karena ini mashlahat baginya, begitupun kita dan anak-anak kita. Jangan biarkan anak kita menikah dengan sembarang orang yang hanya tampan tetapi akhlaknya tidak baik, yang berpotensi malah merusak anak kita.
Begitu juga Nabi Mūsā ditawarkan untuk menikah ketika sampai di negeri Madyan, kemudian beliau menolong 2 wanita, sebagaimana Allāh kisahkan dalam surat Al-Qashash.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖفَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖوَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚسَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ الَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Berkatalah dia (Syu`aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak membebani kamu. Dan kamu in syā Allāh akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (QS Al-Qashash : 25)
Akhirnya Khadījah melalui kawannya memberi isyarat agar menikahi Khadījah. Kemudian Rasūlullāh ﷺ pun maju untuk melamar Khadījah dan terjadilah pernikahan antara lelaki yang sangat shālih dan mulia yang mengatakan:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِيْ لِوَاءُ اْلحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ، وَ مَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آَدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَاءِيْ وَ أَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ وَلاَ فَخْرَ
“Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat dan bukannya sombong. Di tanganku bendera Al-Hamd dan bukannya sombong. Tidak ada seorang Nabi pun, tidak pula Adam dan juga lainnya pada saat itu kecuali semua di bawah benderaku. Aku orang pertama yang keluar dari tanah/kubur dan bukannya sombong.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Rasūlullāh ﷺ menikah dengan seorang wanita yang ‘afīfah (menjaga kehormatan), suci, mulia, dan cerdas, semua sifat baik ini berkumpul pada Khadijah, termasuk juga berbagai macam keindahan, kecantikan wajah, kecantikan akal, akhlak yang mulia serta harta yang banyak.
Umur Nabi ﷺ ketika menikah dengan Khadījah adalah 25 tahun. Sedangkan umur Khadījah saat menikah dengan Rasūlullāh ﷺ diperselisihkan oleh para ulama dalam 2 pendapat :
⑴ Pendapat pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqatnya melalui jalan Al-Waqidi (Muhammad bin Umar) bahwa umur Khadījah adalah 40 tahun (lihat At-Thabaqat al-Kubra 1/131-132). Tetapi periwayatan Al-Waqidi di sisi para ahli hadits tidak diterima karena statusnya matrūk.
⑵ Pendapat kedua, Ibnu Ishāq menyebutkan bahwasanya umur Khadījah ketika menikah dengan Nabi ﷺ adalah 28 tahun, dan inilah pendapat yang mashyur di masyarakat karena kitab siroh yang banyak tersebar di masyarakat adalah kitab siroh Ibnu Hisyam yang merupakan ringkasan dari kitab siroh Ibnu Ishaq.
Namun kedua pendapat di atas tidak disokong dengan dalil yang kuat, pendapat pertama di dalam sanadnya ada perawi yang ditinggalkan riwayatnya (matrukul hadits) yaitu Al-Waqidi, sedangkan yang kedua yaitu pendapat Ibnu Ishaq tidak ada sanadnya. (lihat As-Siroh An-Nabawiyah As-Shahihah 1/113). Oleh Karena itu, usia Khadijah menikah dengan Nabi ﷺ bisa jadi berusia 40 tahun atau 28 tahun.
Hal yang menguatkan pendapat bahwa umur Khadījah tatkala menikah dengan Rasulullah adalah 28 tahun yaitu setelah menikah dengan Nabi ﷺ, beliau melahirkan 5 atau 6 orang anak, yaitu Al-Qāsim, Ruqoyyah, Ummu Kultsūm, Zainab, dan Fāthimah. Sulit terbayangkan seorang wanita berumur 40 tahun masih bisa produktif melahirkan 6 orang anak. Wallāhu a’lam bishshawāb.
Namun ada dalil pula yang menguatkan bahwasanya Khadījah waktu menikah adalah 40 tahun karena Khadījah hidup bersama Nabi selama 25 tahun. Seandainya Khadījah menikah di umur 28 tahun maka Khadījah akan meninggal sekitar 53 tahun. Dan umur 53 tahun, seorang wanita masih terlihat cantik, dan ada sebuah hadits ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Nabi ﷺ jika menyebut tentang Khadījah maka iapun memujinya dengan pujian yang sangat indah. Sehingga pada suatu hari aku cemburu, aku berkata, “Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, ia seorang wanita yang sudah tua (ompong). Allāh telah menggantikannya buatmu dengan wanita yang lebih baik darinya”. Maka Nabi berkata, “Allāh tidak menggantikannya dengan seorang wanitapun yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakanku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allāh telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allāh tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain.” (HR. Ahmad no 24864 dan dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)
Dalam hadits yang lain Aisyah berkata :
اسْتَأْذَنَتْ هَالَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، أُخْتُ خَدِيجَةَ، عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَرَفَ اسْتِئْذَانَ خَدِيجَةَ فَارْتَاعَ لِذَلِكَ، فَقَالَ: «اللَّهُمَّ هَالَةَ». قَالَتْ: فَغِرْتُ، فَقُلْتُ: مَا تَذْكُرُ مِنْ عَجُوزٍ مِنْ عَجَائِزِ قُرَيْشٍ، حَمْرَاءِ الشِّدْقَيْنِ، هَلَكَتْ فِي الدَّهْرِ، قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Haalah binti Khuwailid -saudari Khodijah- untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabipun mengingat suara Khodijah (yaitu karena suara Haalah mirip dengan suara Khodijah), lalu Nabipun berubah hatinya (karena gembira atau karena sedih mengingat perpisahannya dengan Khodijah -pen). Maka Nabi berkata, “Itu Haalah”. Aku (Aisyah) pun cemburu dan aku berkata, “Yang engkau kenang itu adalah seorang wanita tua dari wanita-wanita tua Quraisy, yang merah gusinya, telang meninggal dunia di telan masa, dan Allah telah menggantikan bagimu yang lebih baik darinya” (HR Al-Bukhari no 3821 dan Muslim no 2437)
Perkataan ‘Aisyah bahwa Khadījah meninggal dalam keadaan giginya telah ompong, menguatkan bahwa Khadījah meninggal pada umurnya yang sudah 60 tahun lebih dan menikah dengan Rasūlullāh ﷺ saat berumur 40 tahun. Karena jika umur Khodijah tatkala menikah dengan Nabi adalah 28 tahun -dan ia hidup berumah tangga bersama Nabi sekitar 25 tahun- berarti tatkala ia meninggal berusia 53 tahun, dan seorang wanita berumur 53 tahun biasanya belum ompong. Berbeda jika tatkala ia meninggal berumur 65 tahun, maka kemungkinan sudah ompong sangat besar. Dan wanita 40 tahun mungkin saja masih bisa melahirkan, apalagi orang-orang Arab, wallāhu a’lam bishshawāb.
Setelah menikah dengan Khadijah, Rasūlullāh ﷺ menjalani kehidupan yang luar biasa dan penuh dengan kebahagiaan. Kebahagiaan takkan bisa diraih kecuali dari istri yang shālihah. Kalau hanya sekedar mengandalkan kecantikan, kekayaaan, dan keindahan tubuh dari seorang wanita, maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan, tapi mungkin hanya mendatangkan kelezatan sesaat. Kebahagiaan adalah sesuatu yang tertanam di dalam hati seseorang dan ini tidak bisa didapatkan kecuali dari istri yang shālihah.
Khadījah radhiyallāhu ‘anhā adalah wanita yang sangat mencintai Nabi ﷺ , beliau benar-benar membela suaminya dengan pembelaan yang luar biasa. Seluruh hartanya diberikan kepada suaminya untuk berdakwah. Inilah pentingnya kerjasama antara seorang yang berilmu dan seorang yang berharta dalam berdakwah. Dua orang inilah yang patut kita cemburui, kata Rasūlullāh ﷺ dalam haditsnya:
Dari ‘Abdullāh bin Mas’ūd radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasūlullāh ﷺ bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad (ghibtah) kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang Allāh anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allāh beri ilmu (Al-Qurān dan As-Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Dakwah sulit berjalan jika hanya mengandalkan ilmu tanpa disokong dari sisi dana. Sehingga inilah salah satu hikmah Allāh menikahkan Nabi ﷺ dengan Khadījah, saudagar yang kaya raya dan benar-benar mendukung dakwah Nabi secara totalitas. Selain Khadijah, Abū Bakr radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu juga termasuk saudagar kaya raya yang ikut serta mendukung dakwah Nabi. Oleh karena itu, tatkala Bilāl disiksa oleh tuannya ‘Umayyah bin Khalaf, Abū Bakr radhiyallāhu ‘anhu membebaskannya dan memerdekakannya dengan hartanya, karena saat itu Nabi ﷺ tidak memiliki harta sehingga tidak mampu memerdekakan Bilal.
Rasūlullāh ﷺ adalah seorang yang miskin, sampai-sampai beliau bekerja menggembalakan kambing orang lain untuk mendapat upah dan kemudian diberikan kepada pamannya Abū Thālib. Namun Allāh takdirkan menikah dengan Khadījah, saudagar wanita kaya raya yang seluruh hartanya diberikan kepada beliau untuk berdakwah.
Rasūlullāh ﷺ memiliki 6 orang anak dan semuanya diurus oleh Khadījah radhiyallāhu ‘anhā karena Khadījah ingin suaminya bisa konsentrasi untuk berdakwah, sehingga seluruh urusan rumah tangga diurus oleh Khadījah.
Khadījah radhiyallāhu ‘anhā memiliki banyak sekali keutamaan, diantaranya :
⑴ Dalam hadits disebutkan, Rasūlullāh ﷺ bersabda:
خَيْرُ نِسَائِهَا مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيجَةُ
“Sebaik-baik wanita dunia (di zamannya –pent) adalah Maryam binti ‘Imran dan sebaik-baik wanita dunia (di zamannya –pent) adalah Khodijah.” (HR Al-Bukhari no 3432 dan Muslim no 2430)
Ibnu Hajar berkata :
وَأَنَّ مَعْنَاهَا أَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا خَيْرُ نِسَاءِ الْأَرْضِ فِي عَصْرِهَا
“Maknanya adalah setiap dari mereka berdua adalah wanita dunia yang terbaik di zamannya.” (Fathul Baari 9/125, lihat juga 6/471)
Oleh karena itu, datang dalam riwayat yang lain :
خَيْرُ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ: مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ
“Sebaik-baik wanita di alam semesta ini ada empat orang, yaitu Maryam putri ‘Imrān, Khadījah binti Khuwailid, Fāthimah binti Muhammad, Āsiyah istri Fir’aun.” (HR Al-Hakim no 4733, Ibnu Hibban 6951, At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no 1004 dan dishahihkan oleh Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Al-Albani)
⑵ Rasūlullāh ﷺ sering mengingat Khadījah walaupun Khadījah sudah meninggal dunia menunjukkan betapa cintanya Rasūlullāh ﷺ kepada Khadījah yang selama 25 tahun hidup bersama Rasūlullāh ﷺ. Selain itu Nabi tidak berpoligami selama bersama Khadījah diantara alasannya adalah karena beliau ﷺ sangat cinta kepada Khadījah dan tidak ingin menyinggung hati Khadījah radhiyallāhu ‘anhā.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpoligami sejak menikah dengan Khadijah hingga wafatnya Khadijah. Ini merupakan dalil akan tingginya kedudukan Khadijah di sisi Nabi dan bertambahnya kemuliaan Khadijah. Karena Nabi mencukupkan dirinya dengan Khadijah sehingga beliau tidak berpoligami, dengan itu Rasulullah telah menjaga hati Khadijah dari kecemburuan dan kepayahan yang ditimbulkan oleh para madu.” (Fathul Baari 7/137)
Setelah Khadījah meninggal, Rasūlullāh ﷺ menikah lagi dan baru berpoligami. Ini merupakan bantahan kepada orang-orang Orientalis Barat yang mengatakan bahwa Rasūlullāh ﷺ adalah seorang yang mengikuti syahwat (syahwaniy). Rasūlullāh ﷺ tidak poligami selama 25 tahun dan meskipun pada akhirnya poligami, wanita yang dinikahi semuanya janda dan sebagiannya sudah tua kecuali hanya satu yang masih gadis yaitu ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā, itupun karena perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Nabi ﷺ menikahi ‘Āisyah karena Rasūlullāh ﷺ mimpi didatangi oleh malaikat Jibrīl 2 kali atau 3 kali membawa gambar ‘Āisyah
أَنَّ جِبْرِيلَ جَاءَ بِصُورَتِهَا فِي خِرْقَةِ حَرِيرٍ خَضْرَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ زَوْجَتُكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Bahwasannya Jibrīl datang kepada Nabi ﷺ bersama gambar ‘Āisyah dalam secarik kain sutera hijau, lalu berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah isterimu di dunia dan akhirat’.” (Jami’ At-Tirmidziy no. 3880)
Kita tahu bahwa mimpi para Nabi adalah wahyu Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Pada asalnya istri Nabi ﷺ semua adalah janda. Jikalau Rasūlullāh ﷺ mengikuti hawa nafsu belaka niscaya beliau ﷺ akan menikahi gadis perawan. Akan tetapi Rasūlullāh ﷺ berpoligami karena ada mashlahat di dalamnya.
Diantara dalil Nabi ﷺ sering mengenang Khadijah adalah hadits Aisyah, beliau berkata :
مَا غِرْتُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلَّا عَلَى خَدِيجَةَ وَإِنِّي لَمْ أُدْرِكْهَا، قَالَتْ: وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَبَحَ الشَّاةَ، فَيَقُولُ: «أَرْسِلُوا بِهَا إِلَى أَصْدِقَاءِ خَدِيجَةَ» قَالَتْ: فَأَغْضَبْتُهُ يَوْمًا، فَقُلْتُ: خَدِيجَةَ فَقَالَ: رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا»
“Tidaklah aku lebih cemburu kepada istri-istri Nabi kecuali kepada Khadījah, meskipun aku belum pernah bertemu dengannya.” ‘Āisyah menceritakan ketika Nabi menyembelih seekor kambing, Nabi berkata, “Berikanlah sebagian sembelihan ini kepada teman-temannya Khadījah.” Maka aku pun kesal dan berkata, “Khadījah lagi!?” Nabi lalu menjawab, “Sesungguhnya aku diberikan anugerah untuk mencintai Khadījah.” (HR. Muslim no 2435)[2]
Lihatlah seorang wanita cemburu kepada wanita lain yang telah meninggal ??!!
Aisyah -istri yang paling dicintai oleh Nabi- tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi yang lain sebagaimana kecemburannya kepada Khadijah, padahal Khadijah telah meninggal dunia. Seorang wanita cemburu kepada wanita yang telah meninggal dunia? Tidak lain melainkan karena begitu cintanya Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam kepada cinta pertamanya yaitu Khadijah meskipun telah tiada.
Aisyah radhiallahu ‘anhaa bertutur:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyebut tentang Khadijah maka ia memujinya dengan pujian yang sangat indah. Pada suatu hari aku pun cemburu, kemudian aku berkata, “Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, ia seorang wanita yang sudah tua. Allah telah menggantikannya buatmu dengan wanita yang lebih baik darinya”. Maka Nabi berkata, “Allah tidak menggantikannya dengan seorang wanitapun yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain” (HR Ahmad no 24864 dan dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)
Hadits ini adalah sekedar isyarat yang menunjukkan bahwa ‘Āisyah itu sebagaimana wanita lainnya, bersifat pencemburu. Suatu hal yang wajar apabila seorang istri cemburu dengan wanita lain.
Khadījah bukanlah istri biasa, beliau memiliki peran dalam perkembangan Islam. Bagaimana beliau berkorban dengan segala hal, termasuk harta untuk mendukung dakwah Nabi ﷺ. Karena itu tidak heran jika Nabi ﷺ membanggakan kecintaan beliau ﷺ kepada Khadījah dengan mengatakan:
إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا
“Sungguh Allah telah menganugerahkan kepadaku rasa cinta kepada Khadijah” (HR Muslim no 2435)
Imam An-Nawawi berkata, “Ini adalah isyarat bahwasanya mencintai Khadijah adalah kemuliaan.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 15/201)
Wanita jika cemburu maka dia akan melakukan hal yang tidak dia sadari dan di luar akal sehat. Dan lelaki yang baik adalah yang tidak marah kepada istrinya yang berbuat kesalahan karena cemburu. Bagaimana suami marah terhadap perilaku istri yang menunjukkan cintanya kepadanya. Maka ‘Āisyah pun cemburu dengan mengatakan perkataan yang keliru dan Rasūlullāh ﷺ membela Khadījah.
[1] Orang Arab menjadikan Hind adalah nama bagi seorang lelaki dan juga seorang wanita. Nama lelaki seperti Hind bin Abi Haalah, adapun nama wanita seperti Hind bintu ‘Utbah, yang merupakan istri Abu Sufyan
[2] Ini diantara bentuk inshafnya (adilnya) ‘Āisyah, walaupun beliau melakukan beberapa kesalahan namun beliau tetap meriwayatkannya, tidak beliau sembunyikan karena di dalamnya terdapat ilmu. Tidak seperti orang-orang Syi’ah yang mencaci maki ‘Āisyah, kata mereka ‘Āisyah itu lisannya kotor. Padahal lisan orang-orang Syiah itu sendirilah yang kotor.
Dalam riwayat lain, ‘Āisyah pernah membicarakan salah seorang istri Nabi ﷺ yaitu Shafiyyah. Kata ‘Āisyah: Shafiyyah adalah wanita yang pendek. Lalu Rasūlullāh ﷺ marah. Kalau seandainya kesalahan ‘Āisyah adalah masalah duniawi maka Rasūlullāh ﷺ tidak akan marah dan beliau akan mengalah. Akan tetapi kalau kesalahan ‘Āisyah sudah sampai derajat ghibah dan menyangkut masalah agama maka Rasūlullāh ﷺ menegur dengan berkata:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Engkau telah mengucapkan suatu ucapan yang seandainya ucapan ini dicampur dengan air laut maka akan merubah air laut tersebut.” (HR Abu Dawud no 4875 dan At-Tirmidzi no 2632)
Jika kita perhatikan, hadits ini diriwayatkan oleh ‘Āisyah tentang kesalahan beliau sendiri, namun beliau tetap sampaikan apa adanya. Ini menunjukkan bagaimana inshafnya beliau.
Sungguh mencela dan mencaci ibunda Aisyah sebagaimana tuduhan kaum Syiah bahwa Aisyah bermulut kotor adalah ucapan yang sangat keji. Bagaimana bisa mencaci ‘Āisyah sementara ‘Āisyah adalah kekasih yang sangat dicintai Nabi ﷺ, yang Nabi ﷺ wafat di pangkuannya, yang Nabi ﷺ dikuburkan di rumahnya.
Bersambung Insya Allah…